cerpen romantis


Pandanganku tak lepas dari air yang menetes ini. Satu jam sudah berlalu dan aku masih memandanginya. Aku tidak merasa bosan sedikitpun. Tentu saja, hujan adalah hal yang paling aku sukai dari semua keajaiban dunia. Tuhan memang mahabaik. Tuhan memberikan seorang teman yang sangat mengerti diriku disaat tidak ada seorang pun yang bisa mengerti aku. Aku tidak sepenuhnya gila. Aku masih sadar bahwa hujan itu bukan seorang manusia yang bisa membantu menyelesaikan masalahku. Kurasa aku gila karena wajah itu tidak bisa hilang dari pikiranku.
Hujan ini terus mengguyur kotaku. Dia terus membasahi seluruh isi kota ini. Membasahi pohon, rumah, jalan dan segalanya. Dia juga ingin membasahiku dengan kenangan-kenangan itu. Memang hujan yang membuatku mengingatnya tapi dia bisa membuat hatiku tenang. Tidak seperti pria itu yang selalu membuat hatiku sakit.
Aku masih duduk di hadapan jendela. Hujan masih turun dengan deras, seperti air mataku sekarang ini. Mereka tidak ingin berhenti sedetik pun. Air itu hanya ingin terus jatuh. Air mata membersihkan mataku dan hujan membersihkan kota ini. Kuharap mereka juga bisa membersihkan pikiranku dari bayangan wajahnya.
Seketika, petir menyambar dengan kencang. Aku berdiri dan berteriak sekencang-kencangnya. Bukan berteriak ketakutan tapi aku meneriakan namanya, “Elvin! Aku merindukanmu!” Aku yakin tidak akan ada orang yang akan mendengarkanku disaat seperti ini, tapi aku ingin dia bisa mendengarkan suara hati kecilku. Air mataku kembali mengalir dengan deras. Memori itu berputar sekali lagi. Aku mencoba menghentikan air mata ini, tapi tidak bisa.
Aku kembali duduk di ruangan yang redup ini, yang hanya bercahayakan sebatang lilin. Aku mencoba menutup mataku, mendengarkan suara rintik-rintik hujan, dan membuat diriku sesaat melupakan segalanya. Aku ingin kembali menjadi seorang anak kecil yang tidak memiliki beban hidup. Setiap hari selalu tertawa, selalu bahagia, dan selalu bermain dengan bebas. Meskipun mereka pernah tersakiti, mereka bisa melupakan itu dengan cepat. Aku juga ingin seperti itu, melupakan sosok wajahnya yang selalu mengarahkan sebuah belati ke ulu hatiku.
Aku membuka mata dan melihat hujan di balik jendela, lagi. Dengan menggunakan jariku, aku menggambar sebuah hati. Hati yang berartikan cinta, cinta membuat orang yang merasakannya berbahagia, akhir bahagia yang tidak kudapatkan. Terlalu rumit. Hati kecil ini seharusnya tidak ku berikan kepadanya, tapi dulu aku sangat mencintainya. Aku tidak memiliki alasan untuk menolaknya. Cinta itu terus tumbuh di hatiku, bahkan sampai sekarang. Aku telah berusaha sebisa mungkin untuk membohongi perasaanku dan selalu saja gagal. Aku masih sangat mencintainya.
Aku mengambil payung dan berjalan keluar. Aku tidak tahu apa yang ingin aku lakukan disini. Aku hanya ingin meluapkan perasaan ini. Payung itu aku letakan di tanah, tidak aku gunakan lagi. Aku menangis lagi, lagi dan lagi. Pasti tidak akan ada yang akan melihatku menangis disini. Aku terus menangis sampai tidak ada tenaga yang tersisa dan sampai tubuhku benar-benar kedinginan karena basah kuyup.
“Ni, kenapa kamu disini? Kenapa kamu tidak menggunakan payungmu?” Suara itu terdengar tidak asing. Aku melihat ke belakang. Seorang pria itu datang dengan berteduhkan payung. Aku mengira aku sudah gila karena melihat dia menghampiriku. Aku tersentak dan kaget. Jantung ku berdegup kencang sekali. Jantungku ini sudah tidak normal lagi. Perlahan, pandanganku menjadi kabur dan pendengaranku menjadi buruk sekali. Aku terlalu kedinginan.
“Ni, cepatlah sadar.” Aku tidak ingat apa-apa. Aku hanya ingat ada seseorang yang terus menyebut namaku. Mataku perlahan-lahan berhasil terbuka. Ternyata, aku sudah berada di dalam rumahku. Dia tersenyum, “Akhirnya kamu sadar juga.” Dia menyondorkan segelas coklat panas. “Terima kasih.” Setetes air mataku terjatuh. Aku terlalu senang bisa melihat wajahnya lagi. Aku ingin segera memeluk dia, tapi tidak boleh. Dia bukan siapa-siapa aku lagi. Sudah lama aku tidak melihat wajah dan senyuman itu. Dia menghapus air mataku dengan jarinya. “Apakah ini mimpi?” Sungguh, aku tidak percaya semua ini. “Ini bukan mimpi, Nia. Aku benar-benar ada di sampingmu sekarang.”
Dia memelukku. Aku tidak menolak sedikitpun. Tentu saja, itu keinginanku. Pelukan ini selalu memberikan kehangatan. Sekarang, aku tidak merasakan dingin yang tadi menusuk kulitku. Aku rindu semua ini. Aku terlalu merindukan dan mencintainya. Aku tidak bisa melepaskan pelukan ini. Ini sangat membuatku nyaman. Air mataku menetes sekali lagi. Air ini tidak ingin berhenti menetes. Aku lelah menangis seharian ini. Aku tidak ingin menangis di depannya.
Petir menyambar sekali lagi, aku takut. Aku memperkuat pelukannya dan dia mengusap kepalaku. “Jangan takut, aku ada di sini untukmu.” Kita tidak bisa berkata sepatah kata pun. Hanya isakan tangisku dan suara derasnya hujan yang terdengar.
Dia melepas pelukan ini dan berkata, “Aku mencintaimu.” Aku hanya diam. Aku tidak bisa menjawab. Dia mempertegas kata-katanya, “Aku sangat mencintaimu.” Aku menundukkan kepalaku dan tidak menjawab.
“Maafkan aku atas segalanya, aku menyesal. Aku akan mencoba menumbuhkan kembali benih-benih cinta di antara kita. Jika kamu tidak ingin menerimaku lagi, tidak apa-apa. Aku tahu kesalahanku sangat fatal. Tapi tolong, berikan aku satu kesempatan saja. Aku akan memperbaiki semuanya.” Suara lirih itu terdengar dari mulutnya. Aku menghembuskan napasku dan mejawab dengan jujur, “Kau selalu hadir dalam mimpiku. Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Tidak mungkin aku tidak memberikan kesempatan kedua untukmu, meskipun semua sangat menyakitkan. Aku juga sangat menyesal atas segalanya. Aku ingin kita kembali seperti dulu. Aku rindu semuanya. Kumohon, jangan mengecewakan aku lagi.”
Senyum mengembang lebar di bibirnya. “Terima kasih. Aku tidak akan mengecewakanmu lagi.” Dia kembali memelukku, memberikan kebahagiaan di dalam hidupku dan menerbarkan rasa cinta di dalam hatiku.
Hujan berhenti dan matahari muncul dari balik awan.

Cerpen Karangan: Stefani

Komentar

Postingan Populer